Rabu, 13 Oktober 2010

Manhaj Perjuangan Islam

Manhaj Perjuangan Islam Hari-hari ini kita saksikan kaum muslimin di berbagai negeri menghadapi suatu fenomena yang menyakitkan; tuduhan teroris, terbelakang dan berbagai tuduhan lainnya seakan tidak habis menerpa kaum muslimin dan tentunya Islam secara lebih khusus.

Di tengah badai fitnah yang besar tersebut, kaum Muslimin berusaha untuk bangkit untuk menegakkan syariat Islam di muka bumi ini, namun sayangnya kebangkitan Islam telah muncul diatas dua manhaj:

  1. Manhaj yang memulai dakwahnya dengan menancapkan kepada aqidah yang benar dengan Sunnah yang shahih serta berusaha mengamalkannya, dan berangkat dari situ berusaha menelorkan ide-ide politik yang sejalan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
  2. Manhaj yang memulai dengan memunculkan ide-ide politik dan undang-undang sementara masalah aqidah di kebelakangkan. Dan akhirnya mereka jatuh dalam tindakan-tindakan yang salah dan menyimpang.

Sesungguhnya mayoritas perdebatan sengit yang dicatat dalam sejarah Islam sebabnya adalah perbedaan paham mengenai manhaj Islami. Sementara pertempuran sengit di negeri-negeri barat dipicu oleh pemimpin-pemimpin yang berkuasa hingga meletusnya Revolusi Perancis pada 1793 M. Kemudian meluas menjadi peperangan antara bangsa hingga pecahlah perang dunia pertama kemudian beralih menjadi perang ideologi antara komunisme, Marxisme, fasisme, demokratisme dan liberalisme.

Setelah berakhirnya perang dingin dengan runtuhnya Uni Soviet, terjadilah asimilasi budaya di bawah naungan negara-negara barat. Para pemikir-pemikir barat mulai menyuarakan melalui mimbar-mimbar ilmiah meraka, bahwasanya peperangan budaya dan ideologi (ghazwul fikri) telah dimulai, dan konsep pemikiran liberalisme international dengan demokrasinya telah memasuki era peperangan yang dashyat melawan pemikiran-pemikiran Islami dalam usahanya menguasai dunia.

Dunia Islam telah memasuki era yang sangat berbahaya dan menentukan yaitu penghancuran identitas diri di negara-negara kaum muslimin yang merupakan bukti gagalnya seluruh eksperimen terutama di negara-negara Arab terdahulu yang telah terlepas dari keIslamannya, lalu mengambil pemikiran-pemikiran yang bersifat eksperimen dan spekulatif serta tidak sesuai dengan sejarah kebangkitan Islam dan diennul Islam itu sendiri. Sayangnya sebagian besar kaum muslimin yang insya Allah mempunyai niat yang mulia untuk menegakkan Islam justru malah mengikuti pola dan cara yang disusupkan oleh Barat dan Yahudi (Protocol of Zion ) dalam memperjuangkan Islam atau mungkin mereka belum juga sadar dan mau kembali merujuk kepada cara manhaj Islam yang benar dalam memperjuangkan dien ini.

Maka sungguh benarlah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

“Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian (yahudi dan nasrani ) sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke lubang dhob, niscaya kalian pun akan ikut masuk ke dalamnya”(HR. Bukhari dan Muslim).

Maka perhatikanlah kaum muslimin hari ini dalam politik mereka sibuk dengan demokrasinya. Dalam ekonomi mereka enjoy dengan bunga dan sistem ribawi lainnya, dalam budaya mereka meniru kebudayaan-kebudayaan nenek moyang mereka dalam perilaku mereka meniru orang-orang barat.

Sungguh sebuah musibah besar bagi dienul Islam. Sayangnya hal ini tidak disadari oleh kebanyakan kaum muslimin dan sayangnya lagi sebagian kaum muslimin yang diharapkan dapat menyongsong Shahwah Islamiyah justru mengambil dienul Islam ini secara parsial dan meninggalkan sebagian yang lain.

Permasalahan demokrasi akan semakin jelas jika kita mengetahui maknanya, dan kita tidak akan merujuk kepada Lisanul Arab dan juga Ash Shahihah untuk membahasnya karena si empunya rumah lebih faham tentang isi rumahnya.

Demokrasi Bukan Syuro Demokrasi berasal dari asal kata “demo” yang bermakna rakyat, sedangkan lafal kedua adalah “kratia” yang artinya aturan hukum atau kekuasaan yang apabila digabung maka menjadi kekuasaan rakyat dan untuk rakyat (As Syuura Laa Ad Dimuqratiyah, hal 34 ).

Dalam kamus para pemuja demokrasi, yaitu Kams Collins cetakan London tahun 1979 disebutkan bahwa makna demokrasi adalah hukum dengan perantara rakyat atau yang mewakilinya (Ad demokratiyyah wa Mauqifil Islami Minha). Merupakan salah satu sistem liberal yang memisahkan antara agama dengan politik. Hal ini sangat bertentangan dengan Al Qur an, karena di dalam syariat Islam hukum hanya milik Allah dan rakyat tidak mempunyai hukum dan tidak juga mewakilinya,

Allah taala berfirman:

“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (QS. Yusuf: 40)

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”(QS Al Maidah: 49)

Allah Ta ala telah menjelaskan dalam dua ayat ini bahwa hukum tidak menjadi milik rakyat dan juga wakilnya di parlemen. Dan Allah memerintahkan RasulNya untuk memutuskan perkara dengan apa yang Allah turunkan berupa syariat, maka bagaimana mungkin demokrasi disebut Siyasah Syar’iah, bahkan menyamakan demokrasi dengan Syura dalam Islam, padahal pada dasarnya demokrasi bertentangan dengan syariat Islam.

Jelas sekali perbedaan demokrasi dengan syura dalam Islam dengan perbedaan-perbedaan yang mendasar laksana langit dan bumi. Perbedaan tersebut antara lain, syura adalah aturan Ilahi sedangkan demokrasi merupakan aturan orang-orang kafir, syura dipandang sebagai bagian dari agama, sedangkan demokrasi adalah aturan sendiri. Di dalam syura ada orang-orang berakal yaitu ahlul halli wal aqdi (yang berhak bermusyawarah) dari kalangan ulama ahli fikih dan orang-orang yang mempunyai kemampuan spesialisasi dan pengetahuan, merekalah yang mempunyai kapabilitas menentukan hukum yang disodorkan kepada mereka dengan syariat Islam, sedangkan demokrasi meliputi orang-orang yang di dalamnya dari seluruh rakyat sampai yang bodoh dan pandir bahkan kafir sekalipun.

Dalam demokrasi semua orang sama posisinya; orang alim dan bertakwa pun sama dengan pelacur, orang shalih sama dengan orang bejat dll, sedangkan dalam syura maka semuanya diposisikan secara proporsional.Allah berfirman:

“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian) bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam: 35-36)

Yang lebih parah lagi demokrasi melecehkan hukum Allah dengan masih membahas permasalahan yang sudah jelas hukumnya karena dalam demokrasi bukan mengacu pada Al Qur’an dan sunnah shahihah tapi kepada suara terbanyak, padahal kebenaran tidak diukur dengan jumlah banyaknya orang. Tapi kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah. Maka jelaslah demokrasi memang merupakan syariat orang-orang kafir tapi masih saja sebagian dari kita mau menjadi pejuang-pejuang demokrasi bahkan yang lebih parahnya lagi dengan mengatasnamakan perjuangan Islam -naudzubillah min dzalik, nas allullaha salam walafiyah- padahal jelas dalam hadist bahkan dalam perilaku sehari-hari saja kita diperintahkan untuk menyelisihi orang kafir.

Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Potonglah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian berbedalah kalian dari golongan majusi (kafir).”(HR. Muslim)

Bahkan lebih tegas lagi sabda beliau yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar,

“Barang siapa meniru suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sayangnya ayat Al Qur an dan hadist shahih yang dibawakan oleh para ulama ini diabaikan oleh sebagian besar aktivis Islam yang kenyataannya justru mereka masih hijau sekali dalam ilmu dien ini, dengan anggapan bahwa para ulama itu tidak faham dan mengerti masalah politik bahkan mereka berani mencela para ulama salaf dengan tuduhan ulama fiqih (celana dalam wanita) dan sebagian yang lain bahkan menuduh dakwah para ulama salaf sebagai antek-antek zionis (baca: Majalah Suara Hidayatullah).

Mencela orang muslim adalah kefasikan membunuhnya adalah kekufuran. (Muttafaqun’alaih) Apalagi mencela para ulama yang jelas-jelas ahli waris para nabi. naudzubillah min dzalik. Selanjutnya mereka menganggap bahwa ulama tidak mengerti keadaan yang mereka istilahkan fiqhul waqi dan menggangap orang yang menasihati adalah pendengki yang tidak memperjuangkan Islam.

“Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka (kebatilan) dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah).” (QS. An Nisa: 109)

Sungguh sebuah musibah yang amat besar sekali karena ummat ini dijauhkan dari ilmu dan para ulamanya. Sebagian yang lain menganggap hal ini masalah perbedaan ijtihad saja padahal jelas ijtihad pun dilakukan dengan dasar Al Qur an dan sunnah shahihah bukan dengan akal dan perasaan saja atau hanya karena pertimbangan keduniaan.

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, Al Qur’an, dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisaa: 59)

Atau mereka berkata “Kami masuk ke dalam demokrasi karena darurat”. Darurat berasal dari kata “Ad Dharar” yang berarti bahaya. Adapun secara istilah, berkata Az Zarkasi, “Darurat adalah sampainya kepada batasan, jika tidak menunaikan yang terlarang niscaya akan binasa. Istilah ini banyak dijumpai dalam ilmu fiqh. Adapun dalil dari Al qur an tentang hal ini.

” …Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang”. (QS. Al Maidah: 3)

Allah telah menjelaskan syariatNya atas dasar kemudahan, namun pertanyaannya apakah kita akan mati atau binasa jika kita tidak memakai demokrasi sebagai hukum? Malah kenyataannya di Mesir di akhir pemerintahan Anwar Sadat, puluhan ribu Muslim dipenjarakan, begitu juga di Sudan tatkala Numeri menangkapi para Aktivis Islam, padahal di parlemen Mesir dan Sudan banyak terdapat wakil rakyat dari kaum Muslimin, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat sesuatu pun.

Para ulama sepakat tentang haramnya demokrasi dengan dalil-dalil yang tegas dan sharih, mengenai kewajiban menyelisih orang kafir dalam sistem hidup mereka. Ingatlah wahai saudaraku, Islam akan tegak dengan manhaj Islam, dan bukan dengan cara-cara kafir, dan Islam akan tegak di atas landasan yang benar, aqidah yang kuat bukan aqidah dan metodologi campur aduk. Takutlah kita akan ayat Allah:

“Hai orang-orang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya dan jangan kamu turut langkah-langkah syetan, sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. Al Baqarah: 208 )

Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid dan mendidik ummat dan masyarakat dengan sunnah, bahkan beliau menolak ketika ditawarkan menjadi raja oleh kaum musyrikin. Maka bisakah syariat ditegakkan sementara masyarakat dalam keadaan tidak siap untuk menerimanya? ingatlah kita dengan kisah Heraqlius raja Roma ketika disampaikan risalah Islam kepadanya,

”Wahai sekalian rakyat Roma, apakah kalian ingin keadaan bahagia dan teratur, serta kerajaan kalian stabil? Baiatlah Nabi ini.” Maka rakyatnya pun lari dengan sangat kencang, namun pintu-pintu telah tertutup. Lalu Heraqlius memanggil lagi dan mengatakan, “Saya melakukan hal itu hanya untuk mengetahui kekokohan kalian terhadap agama kalian, maka rakyatnya pun sujud kepadanya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lihatlah, meskipun Heraqlius seorang raja yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, akan tetapi ia tidak mampu memaksa rakyatnya untuk masuk Islam, begitu pula raja Najasyi (seorang Raja Kristen di Habasyah) yang masuk Islam. Selanjutnya, apakah beliau shallallahu alaihi wa sallam memperjuangkan Islam dengan demokrasi menghadapi orang-orang musyrik? apakah beliau berdemokrasi dengan bermajelis bersama mereka memperbincangkan lagi hal-hal yang sudah jelas dalam syariat, memperbincangkan lagi hukum-hukum Allah yang telah tegas atau bahkan memperbincangkan lagi masalah aqidah? Selanjutnya apakah ada sejengkal tanah di dunia ini yang berhasil menegakkan hukum-hukum Allah dengan cara berdemokrasi?, jawablah wahai saudaraku!.

Pengalaman-pengalaman pahit di Mesir, Turki bahkan Aljazair bagaimana kemenangan yang telah lebih dari 90% itu tak berarti apa-apa. Seharusnya hal ini menjadi pelajaran yang jelas dan terang bahwa barokah dan ridho Allah tidak dapat dicapai dengan perjuangan memakai sistem kafir ini. Fa aina tadzhabun ya ikhwah… Belumkah saatnya bagi orang-orang beriman untuk hati mereka tunduk pada peringatan Allah dan kebenaran yang Allah telah turunkan kepada mereka dan janganlah mereka menjadi seperti golongan ahli kitab sebelumnya.

“Lalu mereka diberi masa yang panjang kemudian hati mereka menjadi keras dan sebagian dari mereka fasiq.” (QS. Al Haddid: 16)

Semoga Allah merahmati kita semua dan mempersatukan hati kita di atas aqidah yang benar. Karena hanya Allahlah yang dapat mempersatukan hati dan hanya dengan tauhidlah hati-hati ini dapat bersatu dalam kebenaran. Janganlah kau hitung kebenaran dari banyaknya jumlah, namun kenalillah kebenaran itu sendiri (Al Qur’an dan Sunnah shahihah dengan pemahaman para sahabat) maka engkau akan mengetahui siapakah orangnya.

Wallahu A’lam bissowab

Sumber:

  • Mukhtarat Iqtidha Ash Shiratal Mustaqim, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
  • Raf ul Litsaam An Mukhaalafatil Qardhaawii Lil syarii atil Islam, Syeikh Ahmad Manshur Al Uda ini
  • Muraja at fi Fiqhil Waqi As Siyasi wal fikri ala Dhauil kitabi was Sunnah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Shalih As Sadlan
  • Majalah Ishlah edisi 63 tahun 1996
  • As Syuura Laa Ad Dimuqratiyah, DR Adnan Ali Ridho An Nahwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar