Rabu, 24 November 2010

DAKWAH TIDAK DAPAT DIPIKUL ORANG MANJA

Wahai Saudaraku yang dikasihi Allah... Perjalanan dakwah yang kita lalui ini bukanlah perjalanan yang banyak ditaburi kegemerlapan dan kesenangan. Ia merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan rintangan berat. Telah banyak sejarah orang-orang terdahulu sebelum kita yang merasakan manis getirnya perjalanan dakwah ini. Ada yang disiksa, ada pula yang harus berpisah kaum kerabatnya. Ada pula yang diusir dari kampung halamannya. Dan sederetan kisah perjuangan lainnya yang telah mengukir bukti dari pengorbanannya dalam jalan dakwah ini. Mereka telah merasakan dan sekaligus membuktikan cinta dan kesetiaan terhadap dakwah. Cobalah kita tengok kisah Dzatur Riqa’ yang dialami sahabat Abu Musa Al Asy’ari dan para sahabat lainnya –semoga Allah swt. meridhai mereka. Mereka telah merasakannya hingga kaki-kaki mereka robek dan kuku tercopot. Namun mereka tetap mengarungi perjalanan itu tanpa mengeluh sedikitpun. Bahkan, mereka malu untuk menceritakannya karena keikhlasan dalam perjuangan ini. Keikhlasan membuat mereka gigih dalam pengorbanan dan menjadi tinta emas sejarah umat dakwah ini. Buat selamanya. Pengorbanan yang telah mereka berikan dalam perjalanan dakwah ini menjadi suri teladan bagi kita sekalian. Karena kontribusi yang telah mereka sumbangkan untuk dakwah ini tumbuh bersemi. Dan, kita pun dapat memanen hasilnya dengan gemilang. Kawasan Islam telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam telah mengalami populasi dalam jumlah besar. Semua itu karunia yang Allah swt. berikan melalui kesungguhan dan kesetiaan para pendahulu dakwah ini. Semoga Allah meridhai mereka. Duhai saudaraku yang dirahmati Allah swt. Renungkanlah pengalaman mereka sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat At-Taubah: 42. Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka, mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Mereka juga telah melihat siapa-siapa yang dapat bertahan dalam mengarungi perjalanan yang berat itu. Hanya kesetiaanlah yang dapat mengokohkan perjalanan dakwah ini. Kesetiaan yang menjadikan pemiliknya sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian. Menjadikan mereka optimis menghadapi kesulitan dan siap berkorban untuk meraih kesuksesan. Kesetiaan yang menghantarkan jiwa-jiwa patriotik untuk berada pada barisan terdepan dalam perjuangan ini. Kesetiaan yang membuat pelakunya berbahagia dan sangat menikmati beban hidupnya. Setia dalam kesempitan dan kesukaran. Demikian pula setia dalam kelapangan dan kemudahan. Saudaraku seperjuangan yang dikasihi Allah swt. Sebaliknya orang-orang yang rentan jiwanya dalam perjuangan ini tidak akan dapat bertahan lama. Mereka mengeluh atas beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Mereka pun menolak untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan agar mereka diizinkan untuk tidak ikut. Mereka pun berat hati berada dalam perjuangan ini dan akhirnya berguguran satu per satu sebelum mereka sampai pada tujuan perjuangan. Penyakit wahan telah menyerang mental mereka yang rapuh sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit sebagai risiko dan sunnah dakwah ini. Malah mereka menggugatnya lantaran anggapan mereka bahwa perjuangan dakwah tidaklah harus mengalami kesulitan. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At-Taubah: 45-46) Kesetiaan yang ada pada mereka merupakan indikasi kuat daya tahannya yang tangguh dalam dakwah ini. Sikap ini membuat mereka stand by menjalankan tugas yang terpikul di pundaknya. Mereka pun dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Bila ditugaskan sebagai prajurit terdepan dengan segala akibat yang akan dihadapinya, ia senantiasa berada pada posnya tanpa ingin meninggalkannya sekejap pun. Atau bila ditempatkan pada bagian belakang, ia akan berada pada tempatnya tanpa berpindah-pindah. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw. dalam beberapa riwayat tentang prajurit yang baik. Wahai Saudaraku yang dirahmati Allah. Marilah kita telusuri perjalanan dakwah Abdul Fattah Abu Ismail, salah seorang murid Imam Hasan Al Banna yang selalu menjalankan tugas dakwahnya tanpa keluhan sedikitpun. Dialah yang disebutkan Hasan Al Banna orang yang sepulang dari tempatnya bekerja sudah berada di kota lain untuk memberikan ceramah kemudian berpindah tempat lagi untuk mengisi pengajian dari waktu ke waktu secara maraton. Ia selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk menunaikan amanah dakwah. Sesudah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, ia merupakan orang yang pertama kali datang ke tempatnya bekerja. Malah, ia yang membukakan pintu gerbangnya. Pernah ia mengalami keletihan hingga tertidur di sofa rumah Zainab Al-Ghazali. Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur sampai bangun. Setelah menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali, Abdul Fattah Abu Ismail pamit untuk ke kota lainnya. Karena keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi. Abdul Fattah Abu Ismail mengembalikannya sambil mengatakan, “Dakwah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja.” Zainab pun menjawab, “Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah, tapi saya tetap dapat memikul dakwah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap dakwah. Karena itu, pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak.” Ia pun menjawab, “Berbahagialah ibu. Ibu telah berhasil menghadapi ujian Allah swt. berupa kenikmatan-kenikmatan itu. Namun, saya khawatir saya tidak dapat menghadapinya sebagaimana sikap ibu. Terima kasih atas kebaikan ibu. Biarlah saya naik kendaraan umum saja.” Duhai saudaraku yang dimuliakan Allah swt. Itulah contoh orang yang telah membuktikan kesetiaannya pada dakwah lantaran keyakinannya terhadap janji-janji Allah swt. Janji yang tidak akan pernah dipungkiri sedikit pun. Allah swt. telah banyak memberikan janji-Nya pada orang-orang yang beriman yang setia pada jalan dakwah berupa berbagai anugerah-Nya. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)- mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Anfal: 29) Dengan janji Allah swt. tersebut, orang-orang beriman tetap bertahan mengarungi jalan dakwah ini. Dan mereka pun tahu bahwa perjuangan yang berat itu sebagai kunci untuk mendapatkannya. Semakin berat perjuangan ini semakin besar janji yang diberikan Allah swt. kepadanya. Kesetiaan yang bersemayam dalam diri mereka itulah yang membuat mereka tidak akan pernah menyalahi janji-Nya. Dan, mereka pun tidak akan pernah mau merubah janji kepada-Nya. Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya). (Al Ahzab: 23) Wahai ikhwah kekasih Allah swt. Pernah seorang pejuang Palestina yang telah berlama-lama meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk membuat mencari dukungan dunia dan dana diwawancarai. “Apa yang membuat Anda dapat berlama-lama meninggalkan keluarga dan kampung halaman?” Jawabnya, karena perjuangan. Dan, dengan perjuangan itu kemuliaan hidup mereka lebih berarti untuk masa depan bangsa dan tanah airnya. “Kalau bukan karena dakwah dan perjuangan, kami pun mungkin tidak akan dapat bertahan,” ungkapnya lirih. Wahai saudaraku seiman dan seperjuangan Aktivis dakwah sangat menyakini bahwa kesabaran yang ada pada dirinyalah yang membuat mereka kuat menghadapi berbagai rintangan dakwah. Bila dibandingkan apa yang kita lakukan serta yang kita dapatkan sebagai risiko perjuangan di hari ini dengan keadaan orang-orang terdahulu dalam perjalanan dakwah ini, belumlah seberapa. Pengorbanan kita di hari ini masih sebatas pengorbanan waktu untuk dakwah. Pengorbanan tenaga dalam amal khairiyah untuk kepentingan dakwah. Pengorbanan sebagian kecil dari harta kita yang banyak. Dan bentuk pengorbanan ecek-ecek lainnya yang telah kita lakukan. Coba lihatlah pengorbanan orang-orang terdahulu, ada yang disisir dengan sisir besi, ada yang digergaji, ada yang diikat dengan empat ekor kuda yang berlawanan arah, lalu kuda itu dipukul untuk lari sekencang-kencangnya hingga robeklah orang itu. Ada pula yang dibakar dengan tungku yang berisi minyak panas. Mereka dapat menerima resiko karena kesabaran yang ada pada dirinya. Kesabaran adalah kuda-kuda pertahanan orang-orang beriman dalam meniti perjalanan ini. Bekal kesabaran mereka tidak pernah berkurang sedikit pun karena keikhlasan dan kesetiaan mereka pada Allah swt. Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146) Bila kita memandang kehidupan generasi pilihan, kita akan temukan kisah-kisah brilian yang telah menyuburkan dakwah ini. Muncullah pertanyaan besar yang harus kita tujukan pada diri kita saat ini. Apakah kita dapat menyemai dakwah ini menjadi subur dengan perjuangan yang kita lakukan sekarang ini ataukah kita akan menjadi generasi yang hilang dalam sejarah dakwah ini. Ingat, dakwah ini tidak akan pernah dapat dipikul oleh orang-orang yang manja. Militansi aktivis dakwah merupakan kendaraan yang akan menghantarkan kepada kesuksesan. Semoga Allah menghimpun kita dalam kebaikan. Wallahu’alam.

Kamis, 11 November 2010

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

Sesungguhnya termasuk sebagian karunia Allah dan anugerah-Nya adalah Dia menjadikan untuk hamba-hamba-Nya yang shalih waktu-waktu tertentu dimana hamba-hamba tersebut dapat memperbanyak amal shalihnya. Diantara waktu-waktu tertentu itu adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah. Berkenaan dengan firman Allah Ta’ala:

”Demi Fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al Hajr:1-2)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam ayat ini Allah Ta’ala telah bersumpah dengan “sepuluh hari” pertama dari bulan Dzulhijjah ini. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath Thabari dan Ibnu Katsir rahimakumullah dalam kitab tafsir mereka.
Hari-hari sepuluh pertama bulan Dzulhijjah ini memiliki beberapa keutamaan dan keberkahan, dan penjelasannya sebagai berikut:
PERTAMA : beramal shalih pada sepuluh hari ini memiliki keutamaan yang lebih dibanding dengan hari-hari lainnya.
Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, bahwa beliau bersabda:
“Tidaklah ada amal yang lebih utama daripada amal-amal yang dikerjakan pada sepuluh hari Dzulhijjah ini.” Lalu para sahabat bertanya, “Tidak juga Jihad?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab,”Tidak juga Jihad, kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad) sambil mempertaruhkan diri (jiwa) dan hartanya,lalu kembali tanpa membawa sesuatupun.” (HR. Bukhari).
Dari Said bin Jubair rahimahullah, dan dia yang meriwayatkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang lalu, “Jika kamu masuk ke dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka bersungguh-sungguhlah sampai hampir saja ia tidak mampu menguasainya (melaksanakannya).” (HR. Ad Darimi, hadits hasan)
Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Fathul Baari: “Sebab yang jelas tentang keistimewaan sepuluh hari di bulan Dzulhijjah adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpulnya ibadah-ibadah utama; yaitu shalat, shaum, shadaqah dan haji. Dan itu tidak ada di hari-hari selainnya.”
KEDUA : keutamaan yang lebih khusus pada hari kesembilan sebagai hari ‘Arafah.
Pada hari ini para jama’ah Haji melaksanakan wukuf di ‘Arafah, dan wukuf ini merupakan rukun utama dari ibadah Haji. Karenanya hari ini menjadi hari yang memiliki keitamaan yang agung dan keberkahan yang melimpah. Diantara keutamaannya, bahwa sesungguhnya Allah menggugurkan dosa-dosa (dosa kecil) selama dua tahun bagi orang yang berpuasa pada hari ‘Arafah.
Dari Abu Qatadah al Anshari radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah ditanya tentang puasa pada hari ‘Arafah, maka beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “(Puasa pada hari itu) mengugurkan dosa-dosa setahun yang lalu dan dosa-dosa setahun berikutnya.” (HR.Muslim)
Di sunnahkan pula untuk berpuasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak ber Haji (yang berada di luar ‘Arafah). Sebagaimana petunjuk Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, adalah beliau berbuka (tidak berpuasa) ketika berada di ‘Arafah pada hari ‘Arafah (sedang ber haji). (lihat shaih Bukhari kitab al Hajj dan shahih Muslim kitab ash Shiyaam)
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Berbukanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pada hari ‘Arafah itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya memperkuat do’a di ‘Arafah, bahwa berbuka dai puasa yang wajib saja disaat perjalanan safar lebih utama , maka apa lagi dengan puasa yang hanya hukumnya sunnah…” Ibnul Qoyyim melanjutkan, “Guru kami, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengambil jalan yang berbeda dengan orang lain, yaitu bahwa hari ‘Arafah merupakan hari raya bagi mereka yang sedang berwukuf di ‘Arafah dikarenakan pertemuan mereka disana, seperti pertemuan mereka di hari raya (yaumul ‘Ied), dan pertemuan ini hanya khusus bagi mereka yang berada di ‘Arafah saja, tidak bagi yang selain mereka…” (Zaadul Ma’aad)
Dan di antara keberkahan hari ‘Arafah berikutnya, pada hari itu banyak orang yang dibebaskan oleh Allah Ta’ala, dia mendekat ke langit dunia dan membangga-banggakan para jama’ah Haji di hadapan para Malaikat. Dari ‘Aisyah radhiallahu anha, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Tidak ada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari adzab neraka daripada hari ‘Arafah. Sesungguhnya Dia (pada hari itu) mendekat, kemudian menbangga-banggakan mereka (para jama’ah Haji) dihadapan para Malaikat.” Lalu Dia bertanya,”Apa yang diinginkan oleh para jama’ah Haji itu?” (HR. Muslim)
Dan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Pada hari ‘Arafah sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, lalu membangga-banggakan mereka (para jama’ah Haji) di hadapan para Malaikat, maka Allah berfirman,’Perhatikan hamba-hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dalam keadaan kusut berdebu dan tersengat teriknya matahari, datang dari segala penjuru yang jauh. Aku bersaksi kepada kalian (para Malaikat) bahwa Aku telah mengampuni mereka.’” (HR.Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al Laalikai, dan Imam al Baghawi, hadits shahih)
KETIGA : keutamaan hari ke sepuluh bulan Dzulhijjah, yaitu ‘Iedul Adh-ha yang disebut juga yaumul Nahr.
Dalil yang menunjukkan keutamaan dan keagungan hari ‘Iedul Adh-ha adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Qurth radhiallahu anhu, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa beliau bersabda:
“Hari teragung di sisi Allah adalah hari ‘Iedul Adh-ha (yaumul Nahr) kemudian sehari setelahnya…” (HR. Abu Dawud)
Dan hari yang agung ini dinamakan juga sebagai hari Haji Akbar. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar.” (QS. At Taubah:3)
Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam juga menyebut hari agung ini dengan sebutan yang sama. Karena sebagian besar amalan-amalan manasik Haji dilakukan pada hari ini, seperti menyembelih kurban, memotong rambut, melontar jumrah dan Thawaf mengelilingi Ka’bah. (Zaadul Ma’aad). Pada hari yang penuh berkah ini, kaum muslimin berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Ied dan mendengarkan khutbah hingga para wanita pun disyari’atkan agar keluar rumah untuk kepentingan ini. Sebagaimana dalam ash Shahihain, bahwa Ummu ‘Athiyyah Nusaibah binti al Harits berkata:
“Kami para wanita diperintahkan untuk keluar pada hari ‘Ied hingga hingga kami mengeluarkan gadis dalam pingitan. Juga mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haidh, berada di belakang orang-orang. Mereka bertakbir dengan takbirnya dan mereka berdo’a dengan do’anya. Mengharapkan keberkahan dan kesucian dari hari yang agung ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkomentar tentang maksud dari kehadiran para wanita tersebut di hari agung ini, sehingga para wanita berhalangan tidak luput dari perintah keluar untuk menghadirinya: “Maksud dari kehadiran mereka adalah menampakkan syi’ar Islam dengan memaksimalkan berkumpulnya kaum muslimin agar barakah hari yang mulia ini dapat meliputi mereka semua.” (Fathul Baari)
Pada hari ini dan setelahnya, yaitu pada hari-hari tasyriq, kaum muslimin bertaqarrub kepada Allah Ta’ala melalui penyembelihan hewan kurban. Dan menyembelih hewan kurban merupakan sebuah syi’ar yang agung dari syi’ar Islam.
Namun apakah sepuluh hari Dzulhijjah ini lebih mulia dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab persoalan ini dg jawaban yg tuntas, dimana beliau menyatakan, “Sepuluh hari Dzulhijjah lebih utama daripada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Dan sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam bulan Dzulhijjah.” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah)
Muridnya Ibnul Qoyyim rahimahullah juga menyatakan,” Ini menunjukkan bahwa sepuluh malan terakhir dari bulan Ramadhan menjadi lebih utama karena adanya laitatul Qadr, dan lailatul Qadr ini merupakan bagian dari waktu-waktu malamnya. sedangkan sepuluh hari Dzulhijjah mejadi lebih utama karena hari-harinya (siangnya), karena didalamnya terdapat yaumun Nahr (hari berkurban), hari ‘Arafah dan hari Tarwiyah (hari ke delapan Dzulhijjah). (Zadul Maa’ad)
MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARI’ATKAN
1. Shalat
Disunnahkan untuk bersegera dalam melaksanakan hal-hal yang wajib dan memperbanyak amalan-amalan sunnah, karena itu adalah sebaik-baik cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Telah diriwayatkan dari Tsauban radhiallahu anhu, ia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Hendaklah kamu memperbanyak sujud untuk Allah. Karenaa kamu tidak bersujud kepada Allah sebanyak satu kali sujud kecuali Allah akan mengangkatmu satu derajat dan Allah akan menghapuskan darimu satu kesalahan.” (HR. Muslim)
Ketetapan ini berlaku umum, untuk segala waktu.
2. Melaksanakan Haji dan ‘Umrah
Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, salah satunya adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yg dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah surga.” (HR. Muslim)
3. Berpuasa Pada Hari-Hari Tersebut, Terutama Pada Hari ‘Arafah
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yg paling utama dan yg dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadits qudsi, artinya:
“Puasa itu adalah untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.”
Diriwayatkan dai Abu Said Al Khudri radhiallahu anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Berpuasa pada hari ‘Arafah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.” (HR. Muslim)
Dari Hinaidah bin Khalid radhiallahu anhu, dari istrinya dari sebagian istri-istri Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dia berkata:
“Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berpuasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, sepuluh Muharram dan tiga hari setiap bulan.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i)
Imam Nawawi berkata tentang puasa sepuluh hari bulan Dzulhijjah: “Sangat di sunnahkan.”
4. Takbir, Tahlil dan Tahmid Serta Dzikir
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“…dan agar mereka menyebutkan nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS. Al Hajj:28)
Para ahli tafsir menafsiri bahwa yang dimaksud dengan “hari-hari yang telah ditentukan” adalah sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma yang artinya, “maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir, dan tahmid.”(HR. Ahmad)
Imam Bukhari rahimahullah berkata:” Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiallahu anhum keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (sepuluh hari pertama) dalam bulan Dzulhijjah seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orang pun mengikuti takbir keduanya.”
Dia juga berkata,” Umar bertakbir dikubahnya sampai orang-orang masjid mendengarnya, maka mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang ada di pasar-pasar sampai gemuruh takbir itu menguasai pendengaranku.”
Ibnu ‘Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu, bertakbir juga setelah melakukan shalat, saat berada di atas ranjangnya, di perkemahannya, di majelisnya, dan diwaktu berjalan di jalan-jalan sepanjang hari-hari itu. Disunnahkan pula untuk bertakbir dengan suara yang keras berdasarkan perbuatan Umar, anak lelakinya dan Abu Hurairah.
Bentuk Takbir
Telah diriwayatkan tentang bentuk-bentuk takbir yang diriwayatkan oleh para sahabat dan tabi’in diantaranya:
a. Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiraa
b. Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil hamdu.
c. Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, wa lillaahil hamdu.
Tidak boleh mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majelis dan mengucapkannya dengan satu suara. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para salaf. Menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Hal tersebut berlaku pada semua dzikir dan berdo’a, kecuali jika ia tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.
5. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat dan Dosa, Sehingga Akan Mendapatkan Ampunan dan Rahmat Allah Ta’ala.
Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba Allah Ta’ala dan ketaatan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah Ta’ala kepadanya. disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakal seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Banyak Beramal Shalih
Memperbanyak amalan-amalan shalih berupa ibadah sunnah seperti: shalat, sedekah, jihad, membaca Al Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipatgandakan pahalanya. Amalan yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah utama. Sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang utama, kecuali jihadnya orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.
7. Berkurban Pada Hari Raya Qurban dan Hari-Hari Tasyriq
Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam yakni ketika Allah menebus putranya dengan sembelihan yang agung dan juga sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Tentang keutamaan hari raya kurban , telah di jelaskan diatas dalam pasal ketiga (keutamaan yaumul Nahr) keutamaan sepuluh hari bulan Dzulhijjah.
8. Melaksanakan Shalat Idul Adh-ha dan Mendengarkan Khutbahnya.
Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyari’atkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti: nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukkan dan sejenisnya. Dimana hal tersebut akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukannya selama sepuluh hari. Tentang keutamaan hari ini , telah dijelaskan sebagiannya diatas.
Selain hal-hal yang telah disebutkan diatas, hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.
KEUTAMAAN HARI-HARI TASYRIQ
Hari Tasyriq adalah tiga hari (tgl 11,12,13 dzulhijjah) setelah yaumun Nahr, dinamakan hari tasyriq karena pada hari itu orang-orang mengeringkan atau mendendengkan dan menyebarkan daging kurban. (Syarhun Nawawi li Shaihi Muslim).
Allah Ta’ala berfirman:

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al Baqarah :203)
Berkata Ibnu Abbas radhiallahu anhuma: “’dalam beberapa hari yang berbilang’ adalah hari-hari tasyriq.”
Dalam Shahih Muslim dari hadits Nabisyah al Hadzali radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.” Dan dalam suatu riwayat dengan tambahan: “Dzikir kepada Allah.” (HR. Muslim)
Dan terdapat pula di dalam as Sunnan dari ‘Uqbah bin Amir radhiallahu anhu bahwa dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Hari ‘Arafah, hari raya kurban dan hari-hari tasyriq merupakan hari raya kita pemeluk Islam, dan dia merupakan hari-hari makan dan minum.” (HR. Abu Dawud)
Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan,” Dalam sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa hari-hari tersebut merupakan ‘hari-hari makan dan minum serta dzikir kepada Allah’, sebagai sebuah isyarat bahwa makan dan minum pada hari-hari raya tersebut merupakan mekanisme yang membantu untuk meningkatkan dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Sebagai bagian dari kesempurnaan mensyukuti nikmat Allah, yaitu menjadikan hari-hari makan dan minum sebagai alat yang menolongnya untuk berbuat ta’at kepada-Nya…”(Latha iful Ma’aarif, Ibnu Rajab)
Pada hari-hari ini disyari’atkan untuk bertakbir sebagaimana dilakukan oleh para Sahabat radhiallahu anhum dan generasi Salaf yang datang setelah masa mereka (para Sahabat). Takbir ini juga merupakan salah satu bentuk dari berbagai dzikir kepada Allah. Adapun waktu bertakbir, para ulama memiliki beberapa pendapat. Dan pendapat yang paling shahih dan masyhur bahwa takbir dimulai dari pagi hari ‘Arafah sampai akhir hari Tasyriq. (Tafsir Ibnu Katsir dan Fathul Baari).
Dalil-dalil yang mengidentifikasikan kemuliaan hari-hari tasyriq ini adalah jatuhnya masa pelaksanaan beberapa amalan manasik Haji pada hari-hari tasyriq tersebut, seperti hari (mabit) di Mina, hari-hari melontar jumrah, hari-hari menyembelih hewan kurban dan lain sebagainya. Dan di antara hari-hari tasyriq sendiri, maka hari yang paling utama pada periode tersebut adalah hari pertamanya, sebagaimana dalam hadits berikut:
“Hari teragung di sisi Allah adalah hari ‘Iedul Adh-ha (yaumun Nahr) kemudian sehari setelahnya (yaumul qarri)…” (HR. Abu Dawud)
Dinamakan yaumul qarri karena pada hari itu mereka berada di Mina dan berdiam diri disana.
Maraji:
Kitab At Tabarruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu (edisi terjemahan, Amalan dan Waktu yg Diberkahi), penulis dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al Juda’i.
Kitab Ibadah Kurban Keutamaan dan Koreksi atas Berbagai Kesalahannya, penulis Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al jibrin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Rasyid bin Abdullah al Ghufaili.Kitab Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah, Hukum Qurban, Syari’at Aqiqah dan Fiqh Dua Hari Raya, penulis Ustadz Abdullah Shalih Al Hadrami (materi kajian majelis taklim dan dakwah Husnul Khatimah, Malang)

Sediakan Ruang untuk Dibenci

Bismillahirrohmaanirrohiim

Pasti. Setiap diri kita ingin kesesuaian antara kenyataan dan harapan. Kita mendambakan hidup bisa berjalan sesuai dengan apa yang ada di pikiran kita; bahagia, aman, dan disenangi semua orang. Tidak ada permusuhan dengan siapapun. Tidak ingin dibenci. Tetapi sebaliknya, ingin dicintai dan disukai oleh semua orang. Tetapi kedua sisi yang berlawanan ini; cinta dan benci, ternyata tidak akan pernah bisa berpisah. Ada yang mencintai kita tetapi ada juga yang membenci. Ada yang kita cinta dan ada juga yang kita benci. Benci selalu lahir, karena ada banyak faktor yang tidak bisa kita hindari.

Tidak Ada Manusia yang Sempurna

Manusia memang diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dibandingkan ciptaan AllahSWT yang lain. Namun manusia tetap memiliki serangkaian kekurangan dalam statusnya sebagai makhluk. Tidak ada manusia yang sempurna, utuh, tanpa cela dan kekurangan. Yang sempurna hanya Allah swt, Sang Pencipta. Dialah Pemilik kesempurnaan. Dialah Dzat yang tanpa cela. Tanpa kekurangan. Tanpa kelemahan, dalam sifat, perbuatan, ketentuan, dan hukum-Nya, sehingga Dia tidak layak dibenci olehsiapapun. Sedang manunia, umumnya adalah makhluk yang mempunyai banyak kelemahan dan keterbatasan, dan Allah swt telah menegaskan sifat lemah mereka di dalam Al Qur?an, di mana mereka sering mendapatkan dispensasi-dispensasi hukum karena sifat lemah itu. Allah swt berfirman, ?Allah hendak memberikan keringan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.? (QS. An Nisa?: 28)Sifat lemah manusia begitu jelas terlihat ketika mereka terkena musibah, atau tertimpa kesulitan, di mana mereka cenderung suka berkeluh kesah. Karena Allah SWT pun memang telah melengkapi kelemahan mereka dengan sifat itu. Dia menegaskan, ?Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.? (QS. Al Ma?arij: 19)

Manusia juga cenderung melakukan penyimpangan dan berlaku sombong, seperti disebutkan dalam ayat, ?(Orang yang membanggakan diri) yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia ALlah yang telah diberikan-Nya kepada mereka?? (QS. An Nisa?: 37)

Ini hanya sedikit ayat yang menjelaskan dan membuktikan bahwa manusia memang memiliki banyak cela dan kekurangan. Jika pun kita mendapati seseorang, yang menurut penilaian dan pandangan kita nyaris tak ada kekurangan, mungkin karena kita belum banyak berinteraksi dengannya. Jika misalnya, suatu saat kita punya kesempatan untuk hidupbersama dengan orang itu, di sana kita pasti akan mendapati celah dalam dirinya kalau ternyata orang tersebut punya kekurangan. Kekurangan yang tidak tampak jika kita hanya melihatnya sekilas saja.

Begitu juga sebaliknya, jika kita memberikan penilaian pada seseorang dengan predikat penuh kekurangan, banyak kesalahan, barangkali di sisi lain Allah SWT telah membekalinya dengan kerangkaian kelebihan, yang mungkin saja melampaui kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri kita. Maka,kalau kita menyadari ini, sangatlah pantas jika kita selalu menyediakan ruang dalam hati kita untuk dibenci, karena kita pun bukan manusia sempurna. Banyak kekurangan pada diri kita, yang mungkin saja akan tidak disukai oleh orang lain.

Keberagaman itu Sangat Indah

Di sebuah taman yang indah, akan kita temukan bunga-bunga dari jenis yang beragam, warna-warna yang berbeda, serta bentuk dan aroma yang berlainan. Bunga-bunga itu, meski tumbuh di atas tanah yang sama, disirami dari air hujan yang sama, disinari dari cahaya matahari yang sama, tetapi tak satupun yang sama. Bunga-bunga itu tumbuh beragam, dan ternyata keragaman itulah yang telah menciptakan keindahan di taman itu. Keragaman itulah yang telah menghadirkan keharmonisan. Keragaman itu pula yang selalu memberi daya tarik kepada kita untuk selalu menikmatinya.

Andaikan saja bunga-bunga itu, hanya memancarkan aroma yang sama, buah, daun, dan dahannya dari jenis dan warna yang serupa, tentu keindahannya akan berkurang. Membosankan dan menjemukan. Dan mungkin tak akan kita lihat orang-orang yang selalu menggunjinginya. Bukan hanya bunga-bunga, tapi juga Allah SWT menciptakan manusia dengan keragaman bentuk badan, paras wajah, kepribadian. Semuanya tidak ada yang sama, sekali pun dua anak kembar yang lahir dari satu sel. Subhanallah. ada yang berparas ayu, manis, bahkan sangat cantik. Tetapi ada juga yang berwajah sedang, dan tidak ayu. Ada lelaki yang bertubuh besar, tinggi, kekar, atau gadis yang anggun dan tinggi semampai. Tetapi ada juga yang kurus dan kerdil.


Di kehidupan nyata, kita juga menemukan banyak keberagaman. Ada keragaman berpikir, keragaman pandangan, keragaman kesenangan, tabiat dan prilaku. Semua keragaman itu telah melahirkan keagungan, keindahan, keserasian dan kesempurnaan yang tiada tara. Kita menjadi saling membutuhkan karena keberagaman itu. Tapi juga ada yang membenci karena kita tidak seperti yang dia inginkan.

Keragaman itu adalah bagian dari fitrah penciptaan dan fitrah keindahan. Allah SWT berfirman, ?Sungguh, usahamu memang beraneka ragam.? (QS. Al-Lail: 4)

Keragaman itulah yang melahirkan keindahan. Keserasian. Dan keharmonisan. Maka menghendaki atau memaksakan satu keinginan saja, sama artinya kita menolak keharmonisan, dan hanya menebar kebencia. Kebencian selalu ada, selagi ada yang menghendaki kesamaan. Namun, hanya Allah yang mampu mempersatukan dan menyeragamkan, sebagaimana firman-Nya, ?Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yangberada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.? (QS. Al Anfal: 63)

Karena itu, kita harus selalu menyediakan ruang untuk dibenci karena kita memang beragam.


Memahami Latar Belakang Setiap Orang

Kesalahan kita memahami orang lain, atau kesalahan orang lain memahami kita seringkali berawal dari kesalahan memahami latar belakang. Padahal, latar belakang punya peran membentuk pola pikir, cara pandang, karakter, kepribadian dan pendirian seseorang. Perbedaan latar belakang ini sering membuat orang lain tidak mudah menerima kita. Perbedaan latar belakang kerap menjadikan sebuah maksud baik tidak berbalas. Kadang, perbedaan latar belakang menjadi penyebab lahirnya kebencian.

Lihatlah, betapa dakwah Rasulullah saw ketika berhadapan dengan orang-orang kafir Quraisy seakan menghadapi tembok yang kokoh. Perlawanan, hinaan dan dan penyiksaan setiap saat beliau terima. Bukan karena mereka tidak percaya dengan kebenaran yang dibawa oleh beliau, melainkan karena meraka adalah golongan bangsawan dan pewaris keyakinan nenek moyang yang penyembah berhala. Mereka merasa dikecilkan jika harus mengikuti agama baru yang bernama Islam, yang ajarannya sangatbertentangan dengan kebiasaan mereka di masa lalu.

Di mana-mana Rasulullah saw selalu mendapatkan perlakukan kasar. Di Thaif, misalnya, beliau bahkan dilempari dengan batu hingga tubuhnya penuh luka dan bercucuran darah. Melihat penyiksaan itu, malaikat pun menawarkan diri untuk menimpakan gunung kepada orang-orang kafir. Namun beliau SAW menolaknya dengan mengatakan, ?Jangan, karena mereka tidak tahu.? Beliau juga pernah diboikot oleh orang-orang Quraisy selama tiga tahun, sehingga beliau dan sahabatnya hanya bisa memakan daun-daunan untuk mempertahankan diri dari kelaparan dan kematian. Tetapi beliau tidak pernah dendam.

Latar belakang mereka ini sangat dimengerti oleh Rasulullah saw, sehingga walaupun dakwah beliau selalu dibalas dengan kebencian beliau tidak pernah balik membenci. Beliau bersabar, meskipun cercaan dan intimidasi tidak pernah berkurang. Bahkan dalam kesabaran itu beliau mendoakan, ?Wahai Rabbku, ampunilah kaumku. Sesungguhnya mereka hanyalah kaum yang belum mengetahui??. Beliau? SAW? telah memberikan contoh cara membalas kebencian yang sangat indah; memaafkan dan mendoakan.

Salah memahami latar belakang seringkali menjadi kendala ketika kita mengemban misi,menyampaikan sebuah kebenaran, ide ataupun gagasan. Selalu ada prasangka yang tidak baik dari banyak orang. Dan ini dipahami Imam Malik ketika ia telah selesai menuliskan kitabnya Al Muwaththa?, dan banyak orang yang kagum dengan isinya yang sangat baik. Termasuk khalifah yang berkuasa saat itu. Sang khalifah bahkan mengusulkan kepada Imam Malik agar kitab tersebut dijadikan pegangan seluruh umat Islam. Namun Imam Malik menolak dan berkata, ?Jangan, sebab banyak orang yang berbeda latar belakang pemahaman agamanya. Mengharuskan mereka mengambil kitab ini sama saja dengan pemaksaan dan menebar fitnah.? Kesalahpahaman di antara kita, yang kemudian melahirkan kecurigaan dan kebencian akan selaluada karena kita memang saling berbeda latar belakang.


Kepuasan Manusia adalah Pemenuhan yang tak Berujung

Disukai banyak orang tentu sebuah kenikmatan. Karena kita akan merasa nyaman, tenang dan aman bersama mereka. Bebas dari makarnya, jauh dari kebenciannya, dan dekat dari persahabatannya. Sebab itulah kita selalu berusaha menyenangkan hati setiap orang yang kita kenal atau yang tidak kita kenal; menjaga perilaku, ucapan, perasaan, sikap dan sifat yang tidak disukai.

Tetapi, apakah itu bisa? Menyenangkan hati semua orang barangkali merupakan hal yang nyaris mustahil dicapai. Sekuat apapun usaha yang kita lakukan. Senyata apapun kebenaran yang kita sampaikan. Dan sejelas apapun persoalan yang kita utarakan. Sebab setiap manusia memiliki selera yang berbeda, emosi yang tidak sama, dan tingkat pengetahuan yang beragam, serta dua madzhab yang selalu berlawanan; hak dan batil. Jika kita bermadzhab pada yang hak, maka orang yang tidak baik pasti benci kita. Dan jika kita bermadzhab pada yang batil, tentu orang yang baik pasti akan menjauhi kita. Sebab keburukan dan kebaikan, selamanya pasti tidak akan berdamai.

Sepanjang sejarah manusia, para penyeru kebenaran selalu mendapatkan musuh-musuh besar yang membencinya. Pun para dajjal, mereka mendapat perlawanan dari para pahlawan pembela kebenaran. Jadi, di belahan sisi manapun kita berdiri pasti akan menjumpai orang yang tidak suka dengan kita. Karena itu, menyenangkan semua orang tentulah sangat sulit dilakukan. Tetapi kita tentu juga tidak boleh berdiri di atas dua sisi itu hanya karena ingin menghilangkan kebencian. Karena sikap seperti ini hanya akan mengaburkan jati diri, merusak kehormatan, dan merendahkan martabat kita sebagai manusia. Kehormatan itu akan kokoh jika kita tetap berdiri di sisi kebenaran.

Luqman Al Hakim, suatu hari menasehati anaknya untuk tidak menggantungkan hatinya pada kepuasan dan ridha manusia. Sebab, katanya, kepuasan dan keridhaan manusia pasti sulit dicapai. Dan untuk membuktikan hal ini kepada anaknya, Luqman pun mengajaknya ke luar rumah, berjalan-jalan di keramaian manusia, sembari membawa keledai tunggangannya. Saat keluar di jalan raya, Luqman menunggangin keledai tersebut dan membiarkan anaknya berjalan kaki di belakangnya. Ketika melintasi sekelompok orang, Luqman dan anaknya mendengar mereka berkata, ?Lihatlah lelaki tua itu. Betapa keras hatinya dan betapa tidak punya belas kasih kepada anaknya. Bagaimana dia tega menunggangi keledai sementara membiarkan anaknya berjalan kaki di belakang.?

Luqman pun turun dan menyuruh anaknya menaiki pelana keledai. Ketika melewati sekelompok orang yang lain, keduanya lagi-lagi mendengar obrolan orang-orang itu tentang diri mereka, ?Perhatikan anak dan bapak itu. Si bapak tetnu tidak pernah mendidik anaknya dengan baik sehingga anaknya tidak bisa menghormati dan mengasihi bapaknya.?? Anaknya pun turu dari punggung keledai, lalu berjalan bersama bapaknya di belakang keledai, tetapi orang-orang yang mereka lewati masih terus berkomentar, ?Aneh sekali dua lelaki ini. Mereka biarkan keledainya berjalan sementara mereka mengikuti dari belakang.?

Akhirnya, mereka berdua menaiki keledai tersebut. Namun begitu melewati kerumanan yang lain, komentar miring pun terdengar, ?Lihatlah kedua orang itu. Mereka benar-benar tidak punya belas kasihan pada binatang. Mereka menyiksannya dengan menaikinya bersama-sama, padahal badan mereka begitu besar.?? Pada riwayat lain tentang kisah ini menyebutkan, Luqman dan anaknya kemudian turun dari keledainya, lalu mengikat dan memikulnya secara bersama-sama, sehingga semua orang yang melihatnya tertawa dan menganggap mereka sudah gila.

Realita kehidupan kita memang tidak pernah menyediakan ruang bebas cela. Karenanya, sebelum kita mendapati cela itu sediakan selalu ruang di hati kita untuk dicela.

Mengurangi Kesalahan dan Dosa

Ajaran Islam itu ada yang bersifat anjuran dan larangan, ada pula yang bersifat penerimaan. Kita dianjurkan untuk memperbanyak amal dengan melakukan hal-hal yang baik, seperti memberi, tersenyum, menolong dan menyenangkan orang lain. Di sisi yang berbeda, ada larangan-larangan yang harus kita tinggalkan seperti, hasad, iri, menyakiti dan semua perbuatan yang bisa merugikan dan berdampak negative. Namun di luar itu, Islam mengajarkan kita untuk juga bisa menerima, seperti ketika kita tertimpa musibah, dicaci, dikucilkan, dan dibenci. Penerimaan ini punya tujuan yang sama dengan ajaran yang bersifat anjuran maupun larangan; mendapatkan pahala, ampunan, dan kasih sayang dari Allah swt, serta pengurangan dosa dan kesalahan.

Penerimaan itu maksudnya adalah menjalani sesuatu itu dengan ikhlas, sabar, dan tabah, dengan keyakinan bahwa Allah Maha Tahu tentang diri kita dan kualitas kita, tentang sesuatu yang disangkakan buruk oleh orang lian dari diri kita.Penerimaan itu adalah merelakan orang lain melakukan kebenciannya dengan tidak melakukan hal yang serupa kepada orang tersebut, dengan harapan mudah-mudahan? kebencian itu dapat mengurangi kesalahan kita, menghapus sebagaian dosa-dosa kita, dan lebih dekat dengan Allah swt. Sebab, seperti dijelaskan Rasulullah saw bahwa seorang hamba yang terzhalimi tidak ada penghalang antara dirinya dengan Allah SWT.

Menerima tidaklah semudah melakukan anjuran atau meniggalkan larangan. Orang yang dibenci tentu selalu punya emosi untuk balik membalas. Orang yang dicaci punya hasrat untuk kembali menyerang. Karena itu, penerimaan lebih kuat pada aspek pengendalian diri, dan karenanya pula Allah murka kepada orang-orang yang tidak sanggup menerima ketika Dia mengharuskan mereka menerima. Dalam sebuah hadist. Qudsi, Allah berfirman, ?Dan siapa yang tidak sanggup bersabar menerima ujian-Ku, maka hendaklah dia keluar dari kolong langit-Ku, dan hendaklah dia mencari tuhan selain diri-Ku.?

Kebencian orang lain pada kita membutuhkan penerimaan yang tulus , ikhlas dan sabar. Bukan penerimaan yang direkayasa. Bukan penerimaan yang sengaja diciptakan, dengan membuat kita agar kita mendapatkan kebaikan dari perlakukan buruk mereka. Bukan itu.

Memadamkan api benci tidaklah mudah. Karena itu, di hati kita harus selalu ada ruang yang tersedia untuk menerimanya. Tetapi yang lebih penting setelah itu, kebencian itu kita hapuskan dengan maaf, karena sikap itulah yang akan mengantarkan kita kepada surga-Nya Allah swt, seperti lelaki yang disebut Rasulullah SAW sebagai ahli surga, yang ternyata terbiasa menghapus kebencian dari hatinya kepada siapa saja, sebelum ia tidur malam.

wallahu a'lam

Oleh:Ustadz Sulthan Hadi

Disadur dari Majalah Tarbawi edisi206 Th 10. Jun 09