Corat - Coret

Ibu dan Ketidaknormalanku
Ku kayuh sepadaku kuat, hingga  rambutku yang ikal dan pendek namun indah berkilau bergoyang di hempas lembutnya terpaan semilir angin melambai. Aku tertawa riang di padang hijau nan indah, hamparan bunga berwarna – warni menghiasi sepanjang tempat ini. Langit tampak cerah, tidak panas tidak juga dingin, namun sejuk. Banyak buah disini. Semua yang kuinginkan ada. Dan mudah sekali aku mendapatkannya. Buah disini rasanya manis, ada buah apel, anggur, pir dan masih banyak lagi, yang kata ibu sangat mahal harganya, tapi disini aku bisa dapat semuanya. Lalu di seberang jalan sana, air mengalir dengan tenangnya membentuk sungai yang panjang, airnya bersih sekali dan segar, aku sering minum disana.banyak ikan cantik berenang di sana, mereka berkejaran, mereka tidak sepert ikan yang sering kulihat dibawa ibu pulang dari pasar dengan bau amis yang menyengat, disini meraka tidak bau, tidak ada bau yang tidak enak disini. Aku terus mengayuh sepedaku kuat, sepeda mini yang indah. Bersepeda menghampiri ibu yang dengan senyumnya yang manis, melambaikan tangannya memanggil ku. Ibu cantik sekali. Bajunya bagus dan tampak bercahaya. Wajahnya bersih dengan ukiran senyum yang merona. Aku suka wajah ibu yang seperti ini, karena ia tampak begitu bahagia. Ibu bersama ayah, ayah yang sudah lama meninggalkan kami. Ayahpun tampak bercahaya. Semua orang yang kucintai ada disini, mereka semua tampak bahagia. Baju mereka semua bagus. ada yang bermain air, ada yang bermain sepeda,  berkejaran, bercanda tawa. Pokoknya disini sangat menyenangkan. Aku tidak tahu kenapa aku bisa ada disini. Ayah pernah bilang tempat ini adalah syurga. Tapi menurut cerita ibu, syurga lebih indah dari ini, dan hanya orang  yang hatinya bersih yang bisa datang ke syurga, sedangkan aku?. Hatiku tidak bersih, aku suka membenci orang yang sering membentak ibu untuk meminta uang. Aku tidak tahu untuk apa tapi yang aku tahu hal itu sering membuat ibu menangis dan aku tidak suka itu. Aku ingin marah tapi aku tak bisa, aku masih kecil umurku baru 8 tahun. Dan dengan semua rasa benci itu, apa aku pantas di surga. Ah tapi terserah, apapun itu dan mengapa, aku tidak paduli. Yang pasti aku senang berada disini, tempat ini indah, langitnya indah, tanahnya indah dan sepanjang mataku memandang pasti yang kudapati hanya keindahan. Tapi tempat ini tidak selalu kujumpai. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku selalu ingin disini.
            Aku masih mengayuh sepedaku kuat, menghampiri ibu yang yang masih memanggil ku. Tapi kali ini wajah ibu terlihat cemas. Ibu tidak lagi bersama ayah. Kerutan di wajah ibupun nampak sekali. Baju ibu lusuh, dan baunya khas bau amis ikan dipasar. Ibu memegang pundakku dan menggoyangkan tubuhku.
            “Arman….arman…arman…bangun nak!” sambil  terus menggoyangkan tubuhku. Kutatap wajah ibu. Wajah yang sering kudapati dalam 2 cara yang berbeda. Meski begitu aku suka wajah ibu dalam keadaan apapun, karena tiap kali aku melihat wajah ibu, hatiku akan terasa tenang. Ibu tersenyum, lalu menangis dan memelukku erat, air matanya hangat membasahi pundakku. Lalu ibu berbisik di telingaku
“ Jangan pergi sayang,…ibu sayang padamu!”Tiap kali ibu mengatakan itu, aku ingin sekali menjawab hal yang sama bahwa akupun sayang pada ibu, tapi mulutku tidak bisa bersuara normal, bentuk mulut dan lidahku yang berbeda dari orang lain membuatku hanya bisa berkata.
            “a’…a’…a.a..e….!” tak karuan, terbata, pelan, lalu mulutku akan mengeluarkan liur, yang dengan sigap akan langsung di bersihkan oleh ibu. Banyak yang sering tertawa – tawa melihat caraku bicara, ada juga yang berbisik, dan ada pula yang merasa jijik dan segera membuang muka padaku. Aku sudah terbiasa dengan semua itu. Sering juga sekumpulan anak kecil sengaja masuk ke rumah kami yang dari luar tampak seperti kandang hewan, dengan khas bau anyir sampah, dan bau lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Anak – anak itu masuk hanya untuk bernyanyi konyol dengan lirik sindiran bahwa aku anak belut, anak kadal, anak cicak yang tidak bisa apa- apa. Hatiku kadang terasa sakit, tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Namun ibu dengan sigapnya segera mengambil gagang sapu dan mengusir mereka, sambil hendak memukulkan gagang sapu itu kepada mereka, lalu seketika mereka akan lari ketakutan. Tapi itu tidak membuat mereka jera. Sering kali setiap ibu sibuk menyiangi ikan di belakang, mereka masuk lagi dan melakukan hal yang sama. Sering kulihat ibu menangis karenanya. Tapi seperti biasa aku tidak bisa melakukan apapun. Kadang ingin sekali kupeluk tubuh ibu yang mulai renta dimakan usia, untuk sekedar menghibur hatinya, tapi apadaya, tubuhku memang tidak  normal. Aku terlahir dengan ketidaknormalan. Tubuhku kurus kering, wajahku tirus, kedua tangan ku hanya setengah, aku tak mempunyai lengan, tapi aku punya jari, namun jariku pendek tak beraturan, bengkok sana, bengkok sini. Kakiku kecil dan lumpuh, semua aktivitasku tidak bisa kulakukan tanpa ibu. Aku hanya bisa terbaring. Terkulai di kasur yang sebenarnya tidak layak di sebut tempat tidur, namun inilah tempat ternyaman bagiku. Mulutku tidak bisa bicara karena gusi, gigi, dan lidahku tidak sempurna. Aku terlahir dengan lumpuh total. Tapi inilah hidupku, yang selalu kujalani. Umurku kini 8 tahun. Aku ingat ulang tahunku, aku ingat nama ibuku, bahkan aku ingat alamat rumahku, karena ibu pernah mengatakannya, akupun tahu ejekan yang sering dilontarkan padaku, aku tahu kenapa ibu menangis, aku juga tahu keadaanku, aku mengerti semua ini, meski banyak yang bilang aku idiot tapi aku tahu semuanya dan aku tidak pernah menyesali semua ini.

            Dari luar aku memang tampak aneh, tapi akhir – akhir ini sering sekali kudapati diriku dalam keadaan yang berbeda, dalam keadaan yang begitu membahagiakan. Hal ini kudapati di setiap aku merasakan tubuhku begitu lemah, dan mataku terpejam tak berdaya. Aku menemukan tempat itu. Tempat yang indah itu, tempat yang sering ayah bilang syurga….namun ketika mataku terbuka lagi, kudapati diriku yang tidak berdaya, dan seperti biasa akan tampak wajah ibu yang cemas dan takut kehilanganku. Ingin sekali kukatakan pada ibu bahwa, aku bahagia ibu..aku bahagia. Tapi aku sadari keadaanku, dan aku hanya dapat tersenyum pada ibu, meski hanya ibu yang mengerti senyumku. Dengan senyum itu ibu terlihat sedikit bahagia meski haru melihat keadaanku yang semakin melemah. Penyakit lumpuh total ini membuat tubuhku semakin lemah, hanya terbaring dalam rumah. Bukan karena aku mau atau ibu tidak berusaha menyembuhkanku, namun keterbatasan biayalah yang menghalangi penyembuhanku. Setiap harinya aku harus menenggak butiran – butiran pil dari puskesmas gratis di dekat rumah, itupun dengan persyaratan ini dan itu. Dan ketika masa aktif KTP (kartu tanda penduduk) ibu habis, ibu tidak bisa mengambil obat karena harus menggunakan KTP. Sehingga obatku tertunda beberapa hari. Namun sebenarnya hari – hari itu merupakan saat yang menyenangkan bagiku, karena tanpa obat itu badanku akan melemah dan akupun akan mendapati diriku di tempat yang indah itu.

            Aku duduk di tengah padang rumput yang hijau, semilir angin lembut membelai wajahku, dan kulihat ayah tampak datang menghampiriku.

            “Ayah…ayah…ayah…!!”teriakku memeanggil ayah, lalu tersenyum menghampiriku, dengan beberapa mainan yang yang ingin sekali kumainkan, dan beberapa baju yang bagus – bagus …ayah memelukku dan mengangkatku, kami tertawa bahagia sekali. Ku lihat wajah ayah tersenyum bahagia.

            “bau ayah wangi sekali!” celetukku pada ayah, ayah membalas dengan sunyum khas dibibirnya…….

            “Ayah aku senang sekali disini!” ku tatap wajah ayah yang begitu bersih, rambut ayahrapi dan berkilau sama seperti rambutku.

            “ayah juga bahagia disini…..!” ayah balas menatapku lekat. Aku celingukan mencari sesuatu. Aku sadar bahwa tidak ku temukan sosok ibu disini.

            “ayah, mana ibu?” aku bertanya pada ayah sambil terus mencari sosok ibu. Ayah menunjuk ke seberang sungai yang bersih di ujung jalan. Tampak ibu berdiri dan melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum.

            “ibu…ibu…!” teriakku membalas lambaiantangan ibu dengan senyuman, aku mencoba berlari menghampiri ibu. Ketika aku hendak melangkahkan kaki. Ayah menahanku. Ayah berdiri dihadapanku, duduk sejajar dengn ku, menatapku lekat dan berkata dengan lembut.

            “Arman…kau bahagia disini?”

            “tentu saja ayah!!” jawabku mantap, lalu ayah kembali berkata

            “Arman mau tinggal disini bersama ayah?” mendengar kalimat itu benakku langsung terbayang dengan sebuah kebahagiaan yang tiada terperi, dimana kami dapat berkumpul bersama, tidak  seperti dirumah, disaat keadaanku tidak menyenangkan. Terbayang pula wajah ibu sedang tersenyum bersama ayah…oh…bahagianya…dan akupun segera menjawab.

            “ya! Dan ibu juga!” ku jawab lugu sanbil memainkan rambut ikal ku. Namun kata – kata ayah menghancurkan semua kebahagiaan yang melayang – layang di benakku.
            “ibu tidak bisa iku, Arman !” kata – kata itu terdengar aneh ditelingaku, aku mencium gelagat yang tidak enak.

            “ kenapa tidak?” tanyaku protes

            “kenapa ibu tidak bisa ikut, disini menyenangkan ayah…!” nadaku sedikit meninggi dengan raut wajah sedikit kecewa. Ayah membelai rambutku lembut dan berkata.

            “karena ibu masih banyak urusan!!” jawab ayah tenang

            “apakah penting, ayah?” tanyaku memastikan, karena aku tidak mau berpisah dari ibu.

            “iya… Armand an pasti ibu dating lagi kesini !” jawab ayah menoba menenangkan

            “tapi, nanti ibu sendirian !!” aku masih memprotes ayah.

            “tidak, disana ibu akan selalu bahagia !!”jawab ayah. Aku mencoba mengerti dan akhirnya aku mengalah.

            “baiklah, tapi bolehkan aky bertemu ibu dulu, yah…!!” kinii ayah mengusap pipiku, tangannya lembut penuh kasih sayang.

            “ temuilah ibu !!” jawab ayah singkat sambil berdiri dan brjalan kesampinku. Aku segera menghampiri ibu dan kuteukan wajah ibu. Saat ku buka mataku kudapati diriku terbaring lesu. Wajah ibu terlihat cemas, dan di sekelilingnya banyak sekaliorang yang mengelilingiku dengan wajah yang tampak khawatir memandangku. Aku tidak peduli, karena selama ini mereka juga tidak pernah peduli padaku. Ku tatp lekat wajah ibu. Kugulirkan senyumku padanya, dan ibu membalas senyumku. Kami saling menatap cukup lama. Terdiam. Namun ada percakapan hebat dihati kami, seakan hati kami menyatu. Lalu dengan tenang aku berucap.
                                                           
            “i…ib…ib…u…ib..u..!!” aku tersenyum sambil menatap wajah ibu. Air mata ibu menetes. Mengalir haru, setetes demi setets dan tersenyum membelai rambutku. Pelan namun pasti. Seakan tahu maksud di balik senyumku. Ibu menghapus air matanya, menghela nafas panjang. Mencoba membuat senyum yang lebih indah dan berkata.

            “ibu ikhlas sayang….ibu ikhlas..!!” suaranya terdengar bergetar dan menelusup ke relung – relung jiwaku. Ku tatap terus wajah ibu. Wajah yang selalu menemaniku setiap saat, wajah yang  penuh dengan cinta dan kasih sayang, wajah yang penuh dengan keikhlasan.  Wajah yang setiap hari bercerita dengnku tentang Allh yang kuasa, tentang 25 nabi, shalat, berbuat baik dan sebgainya, seakan – akan aku anak normal biasa. Wajah yang selalu ku lihat terlelap di malam hari, dan terkadang ku lihat ibu menangis dan salam shalat – shalat malamnya. Aku berkata pada ibu dengan suara hatiku.

            “kbu aku sunggung mencintaimu….aku sungguh – sungguh mencintaimu…aku sangat mencintaimu….” Perlahan ku tutup mataku pelan, pasti dan selamanya….

            Aku berlari menghampiri ayah yang tengah mnungguku, lalu kami melambai bersama pada ibu yang telah berbalik pergi menjauhi kami….

”aku bahagia ibu !!, semoga ibupun bahagia..!”

By : Ririn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar