Minggu, 17 Oktober 2010

Jangan jadi aktifis sekuler !

Secara umum sekuler sering diartikan sebagai pemisahan antara pemerintahan dan agama. Pengdikotomian yang sering membuat pemikiran dan keberjalanan kehidupan menjadi terdikotomi atau tersekat-sekat. Pemisahan antara pemerintahan dan agama merupakan bentuk dari tidak adanya pengakuan dari konsep Islam yang komprehensif. Islam yang mengajarkan kepada kita segala sesuatu tentang kehidupan. Pada bagian ini saya akan sedikit memaparkan kekhawatiran akan kondisi aktifis dakwah di kampus.

Definisi sekuler yang saya coba paparkan adalah pengdikotomian aktifis dakwah terhadap wadah dakwah yang ada di kampus. Wilayah dakwah di kampus secara garis besar bisa terbagi dalam tiga wilayah. Pertama, Wilayah khidamy dan dakwiy ( pelayanan dan dakwah ) yang diwakili oleh lembaga dakwah kampus, mahad kampus, lembaga dakwah fakultas, dan lain sebagainya. Kedua, wilayah siyasi dan sya’bi ( politik dan kemasyarakatan ) yang diwakili oleh badan eksekutif mahasiswa, himpunan mahasiswa dan lain sebagainya, serta yang ketiga, wilayah faniy ( akademik ) yang diwakili oleh aktifitas kuliah, riset, asisten dosen, koordinator lab dan lain sebagainya.


Biasanya aktifis dakwah memilih untuk berada dalam salah satu wilayah ini. Apakah ia aktif BEM, di LDK, atau di Lab. Memang saya sering mengatakan bahwa kader dan amanah ibarat tumbuhan dan habitatnya, maksudnya seorang kader akan bisa produktif jika diberi amanah sesuai dengan potensinya. Akan tetapi, saya memncoba membuka paradigma kita, walau kita di amanahkan di suatu wilayah dakwah tertentu kita harus senantiasa siap membantu jika wilayah lain membutuhkan bantuan, dan bersedia memikirkan pula kondisi dakwah di wilayah lain.

Sebagai contoh, seorang aktifis LDK, juga perlu mengetahui terkait dakwah di kemahasiswaan. Begitu pula aktifis di kemahasiswaan perlu memahami tentang bagaimana dakwah di lembaga dakwah kampus, dan seorang koordinator lab juga perlu tanggap terhadap isu sosial politik yang seringkali didengunkan oleh kawan-kawan aktifis kemahasiswaan. Seorang aktifis yang sering demonstrasi diharapkan pula memiliki basis akademik yang kuat, seorang alumni pernah berkata “aktifis mahasiswa itu haru diatas 3 IP-nya, gimana mau merubah bangsa kalo IP aja masih seok-seok”. Terpikir dalam benak saya, benar sekali apa yang disampaikan oleh beliau, seringkali kita berasumsi bahwa “jangan sampai akademik mengganggu aktifitas”.

Berlanjut ke pembahasan di bagian ini, adanya sebuah pandangan integral tentang dakwah kampus ini perlu dibangun oleh setiap aktifis dakwah kampus di semua lini. Pandangan integral ini sebetulnya akan membuat paradigma dan wawasan dirinya tentang dakwah yang komprehensif dan terstruktur akan terbentuk. Think globally and act locally, istilah yang sering kita dengar ini bisa kita terjemahkan dalam kondisi real dakwah kita. Sebutlah, seorang aktifis dakwah yang lebih gemar belajar dan meneliti, tentu akan lebih berminat untuk aktif di lab atau asisten dosen. Seorang aktifis ini diharapkan pula memahami tentang permentoringan secara umum atau agenda dakwah yang akan dilaksanakan dan mengetahui cara-cara dakwah di lab. Dengan adanya pandangan ini diharapkan ia bisa memahami posisinya di lab, tidak hanya sebagai seorang akademisi, akan tetapi sebagai seorang da’i juga. Contoh-contoh tindakan yang bisa dilakukan adalah seperti memimpin do’a sebelum dan sesudah praktikum, mencontohkan kejujuran dan kedisiplinan ( membangun citra positif kader dakwah ), atau mengajak untuk mentoring kepada peserta praktikum.

Seorang yang biasanya memahami tentang bagaimana membuat agenda dakwah di kampus diharapkan pula mengetahui mengenai kondisi sosial politik bangsa, sehingga agenda kajian atau ta’lim yang diadakan tidak hanya seputar ibadah dan fiqih islam, akan tetapi bisa divariasikan dengan bagaimana peran islam dalam menghadapi isu sosial yang tengah marak. Seorang aktifis BEM pun diharapkan dapat memiliki kekuatan ruhiyah yang kuat untuk menopang aktifitasnya, karena kondisi dakwah di BEM yang cukup heterogen menuntut kedeketan dengan Allah secara intens, terkadang kondisinya justru terbalik dimana seorang aktifis BEM justru jauh dari ibadah-ibadah yang dapat memberikan kekuatan spiritual bagi dirinya.

Ketika sektor dakwah ini merupakan matriks dari skematik target dakwah kampus yang kita lakukan, penguasaan dan pengondisian para kader dakwah di ketigak lini ini diharapkan dapat mendukung penanaman nilai Islam di kampus. Kenapa harus ketiga lini ini di kondisikan ? karena memang mahasiswa yang heterogen hanya dapat di dekatkan dengan berbagai metode pula. Tidak semua mahasiswa senang mengaji, tidak semua mahasiswa senang meneliti, tidak semua mahasiswa senang untuk demonstrasi. Akan tetapi jika semua sarana yang ada di optimalkan untuk dakwah tentu kita akan dapat mengondisikan kampus kita.

Perlu dipahami bersama pula bahwa, tipikal dan karaktek kader dakwah di setiap lini akan berbeda. Di wilayah dakwiy, kondisi lebih homogen, dimana pendekatan spiritual dan keteladanan harus ditonjolkan lebih banyak, oleh karena itu perlu didukung pula oleh kader yang baik dalam pemahaman dasar Islam dan dakwah Islam. Di wilayah siyasi, dituntut kekritisan dan ketahanan akan heterogenitas mahasiswa. Seringkali tidak semua kader nyaman dalam kondisi heterogen ini dimana banyak kendala-kendala lapangan yang membutuhkan banyak penyesuaian dan tarbiyah dzatiyah yang kuat. Kekuatan leadership dan pelayanan perlu ditonjolkan karena kita adalah citra dari dakwah itu sendiri. Di wilayah faniy, dituntut adanya kepekaan akan kesempatan dakwah yang bisa dimanfaatkan, di wilayah ini biasanya seorang kader lebih “tenang” dalam berdakwah, karena relatif tidak ada penolakan, akan tetapi diperlukan kejelian melihat kesempatan, seorang kader yang berbekal intelegnsia tinggi diperlukan disini, sehingga akan terframe pula bahwa seorang kader dakwah adalah seorang yang baik dalam hal akademik.

Secara umum memang nilai , leadership, spiritual, intelegence dan social empathty diperlukan oleh seluruh kader dakwah. Adanya wilayah dakwah ini perlu dilihat bukan sebagai pemilah milah kader, akan tetapi sebagai spesifikasi keahlian seorang kader dengan itu ia akan lebih produktif, dan seorang kader dakwah harus siap berkontribusi di semua lini jika diperlukan.

Setelah kita memahami mengenai paradigma ini, saya akan mematparkan bagaimana mengorganisasikan kader agar selalu berpikir dan bergerak secara integral. Bentuk pengorganisasian ini tentu perlu dilakukan dengan menggunakan 2 cara, yakni :

  1. Adanya pemimpin dakwah secara umum, pada tahap lanjut perkembangan dakwah di kampus, ketika wilayah dakwiy sudah mantap, maka tentu akan ada pelebaran dakwah ke wilayah faniy dan siyasi. Oleh karena itu, diharapkan ada pemimpin pergerakan dakwah di suatu kampus yang mengkoordinir pergerakan dakwah di tiga ini agar sinergis dan komprehensif. Bentuk pemimpin ini bisa dalam bentuk majelis syuro yang berperan dalam kebijakan-kebijakan.
  2. Adanya pembinaan terbuka, maksudnya adalah, biasanya seorang kader dakwah di wilayah dakwiy banyak memperoleh pembinaan penguatan ruhiyah, kader di wilayah siyasi banyak memperoleh pembinaan terkait pemahaman sosial dan politik, dan kader di wilayah faniy banyak mendapat pembinaan terkait program peningkatan kompetensi akademik. Oleh karena itu diperlukan adanya pembinaan terbuka, yakni semua kader dakwah di suatu kampus diwajibkan mengikuti pembinaan di semua lini dakwah tanpa terkecuali, sehingga ada input pemahaman yang sama di semua kader dakwah.

Dua cara ini menjadi pendekatan struktural yang baik dalam membangun paradigma ini. Selanjutanya secara kultural diperlukan juga beberapa pendekatan, seperti :

  1. Apresiasi masing-masing lini dakwah perlu dikembangkan, biasanya seorang kader enggan masuk ke lini lain karena berbagai faktor antara lain, tidak merasa memahami medan dakwah, tidak cocok dengan medan dakwahnya, tidak merasa klop dengan kader di wilayah lain. Biasany ketidak cocokan ini bermula ketika adanya underestimate kemampuan sesama kader, yang membuat kader di wilayah yang berbeda merasa minder dan tidak mau membantu. Oleh karena itu diperlukan adanya nuansa saling menghargai sesama kader dakwah di semua lini.
  2. Saling mengajak satu sama lain, mengajak ini dalam rangka memberikan kesempatan agar semua kader dakwah dapat merasakan beramal di semua lini, dan dengan saling menginformasikan dan mengajak satu sama lain akan terbentu rasa saling memiliki dan keterikatan antara kader dakwah antar lini.
Harapan besar tentunya dalam dakwah kampus ini, dimana ketiga lini ini dapat tersentuh nilai Islam dengan baik. Adanya sinergisasi antar lini ini diharapkan dapat membentuk sebuah dampak yang baik dalam perubahan kondisi di sebuah kampus-tentunya ke arah yang lebih baik-. Sebagai penutup dari bagian ini, saya ingin mengingatkan bahwa hal terpenting dalam berorganisasi dakwah adalah ukhwah diantara para kader, tidak perlu semua lini dikuasai jika ternyata malah menyebabkan perpecahan diantara kita, tidak perlu kita memiliki banyak agenda jika ternyata masih ada dengki dan iri diantara hubungan sesama kader. Karena ukhwahlah yang akan mendatangkan ridho Allah dan ridho Allah lah yang kita cari dalam dakwah ini.

1 komentar: